Pentingnya ketahanan dan keamanan siber korporasi akibat berlakunya UU PDP
Negara Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara yang paling terkena dampak pelanggaran data pada kuartal ketiga tahun 2022, dan selama periode ini terdapat kebocoran data, sekitar 12,7 juta akun yang dibobol di Indonesia telah dilaporkan1. Menurut laporan The State of Cyber Resilience 2022 yang dirilis oleh Marsh bersama Microsoft Corp., sebanyak 64% perusahaan di Asia terkena dampak serangan siber, dan risiko pelanggaran privasi yang mana menjadi sumber kekhawatiran utama yang mereka hadapi.
Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang telah disahkan dan diresmikan oleh pemerintah dengan Nomor 27 Tahun 2022, adalah untuk melindungi data pribadi dalam rangkaian pemrosesan data pribadi, guna menjamin hak konstitusional subjek data pribadi. Perkembangan regulasi yang disambut baik ini, akan mengarah pada tingkat perlindungan data pribadi yang lebih tinggi dalam ekonomi digital Indonesia yang sedang berkembang.
Bagi perusahaan yang melakukan pengumpulan, pemrosesan, dan penyimpanan, serta pengelolaan data pribadi tentunya harus memahami dampak diberlakukannya UU PDP, termasuk kesiapsiagaan perusahaan dari potensi risiko ancaman siber. Indonesia memiliki skor kesiapan serangan siber yang rendah dan berada di peringkat 83 dari 160 negara di dunia2.
Dampak bagi subjek data dan korporasi
UU PDP berlaku untuk setiap orang, entitas, lembaga publik dan organisasi internasional yang memproses data pribadi di Indonesia, atau di luar Indonesia tetapi memiliki dampak hukum di Indonesia dan/atau subjek data Indonesia di luar Indonesia, serta berlaku untuk semua sektor industri yang tidak hanya untuk Penyedia Sistem Elektronik (PSE).
Secara luas, UU PDP mengatur hal subjek data pribadi atau hak perseorangan yang pada dirinya melekat data pribadi, ketentuan pengumpulan, penyimpanan, pemrosesan, dan transfer data pribadi pengguna Indonesia, kewajban para Pengendali Data Pribadi dan Prosesor Data Pribadi, serta pengenaan sanksi.